Kisah ku berawal dari
masa smp yang sangat berantakan, tawuran sana-sini, bolos sekolah hingga aku
dihadapkan pada situasi yang sangat haru saat itu dan membuat ku ingin bertaubat. Ya, situasi itu adalah pada saat orang tuaku menangis dihadapan ku,
guru dan kepala sekolah smp ku diruang kepala sekolah karena tingkah laku ku. Pada saat itu aku hanya seorang remaja yang masih mencari
jati diri, namun apalah daya akhirnya aku terjerumus ke lubang yang sebenarnya
sama sekali tidak ingin aku masuki.
Singkat cerita, pada saat smp kelas 3 aku bertemu seorang
teman yang sangat baik, “pampam” panggilannya. Sebuah nama yang kubuat karena
namanya yang panjang untuk sebatas nama panggilan, ia mengajak ku untuk
menghadiri sebuah majelis di dekat rumahnya alasannya sederhana, ia ingin
membantu ku untuk berubah. Akhirnya aku datang menghadirinya, aku mendengar
ceramah seorang habib yang sekarang telah menjadi panutanku.
1 tahun berjalan, tiba saatnya ibuku menyuruhku untuk
mengajak juga anak dari salah satu temannya untuk menghadiri sebuah tabligh
akbar. Nama nya Nadine Kalea Azzahra, seorang perempuan yang mempunyai
perjalanan hidup yang kurang beruntung juga sama sepertiku. Pada saat bertatap
muka untuk pertama kalinya, aku melihat paras wajahnya yang sangat cantik
seraya berkata dalam hatiku “Kamu beruntung, Allah sedang tersenyum pada saat
menciptakan mu”. Setelah ia ku bonceng dengan motor sederhanaku, ia terlihat
tidak begitu tertarik untuk menghadiri sebuah acara tabligh akbar. Itu terlihat
dari matanya yang selalu tertuju pada layar ponsel nya, namun bukan bagian dari
diriku jika aku tidak mampu untuk membuatnya tertarik. Aku melakukan suatu hal
yang mungkin akan agak lebih aneh jika sedang bersama teman baru, yaitu
mengambil ponselnya.
“eh
kok kamu lancang banget sih ngambil hp aku” ujarnya sambil mencoba merebutnya
kembali.
“coba
kamu dengerin dulu ceramahnya, perhatikan isi ceramahnya. Kalo kamu masih
bermain hp mending kita pulang aja” kataku pada saat ia mencoba merebut
ponselnya.
Dari
percakapan singkat tadi, aku yakin dia akan menyukai untuk menghadiri kembali
acara tersebut.
Setelah beberapa bulan tidak ada
kabar darinya, tiba tiba ponsel ku berdering dan berisi pesan ajakan untuk
menghadiri suatu acara keagamaan di dekat rumahnya. Sontak diriku kaget karena
ajakannya tersebut. Dengan senang aku bersiap untuk menghadiri acara tersebut,
minyak wangi yang dibelikan ibu dan sarung yang baru saja dibersihkan menempel
pada tubuhku. Sampailah aku disana, bertemu dengannya dan lagi-lagi aku
mengatakan kalimat yang sama seperti pada saat pertama kali melihatnya.
Parasnya yang begitu rupawan dibalut dengan kerudung bergambar bunga
kesukaannya membuat siapapun tidak berkedip melihatnya.
“Alhamdulillah
qi kamu dateng juga” ucapnya yang terlihat gembira pada saat aku datang.
“aku
pasti dateng dong, kan ini acaranya temen aku” membalas perkataanya
Setelah percakapan pendek tersebut
aku diajaknya untuk menempati tempat paling depan, pada saat itu aku merasa
bahagia sekali, karena secara tidak langsung aku telah mengubah sifatnya untuk
menjadi lebih baik.
Dan persahabatan kita berdua berawal
dari situ. Kami mulai banyak menghadiri acara keagamaan bersama-sama sejak itu,
dari yang berlokasi dekat dengan rumah kami dan juga jauh dari rumah kami. Tapi
semua perjalanan itu ku anggap dekat karena keberadaanya yang dapat membuat
suasana menjadi ceria.
Singkat cerita, setelah ia lulus sma dan aku telah lulus
smk, lagi – lagi kita tidak bisa satu kampus karena keterbatasan perekonomian
keluarganya. Aku kuliah di Universitas Gunadarma dan dia kuliah di Universitas
Bina Insani. Meskipun tidak jauh, tapi terasa sekali jika waktu bertemu kami
semakin berkurang, kesibukan tugas kuliah dan kerja kelompok harus memaksa kami
lebih sering berkomunikasi melalui ponsel. Kami berdua saling bantu membantu
mengenai tugas kuliah, pada saat aku lelah dengan kepadatan jadwal kuliah ku,
ia yang selalu mengerti keadaanku langsung menawarkan bantuan, dan begitu pun
sebaliknya.
2 tahun bersama-sama, sampailah pada
saat diriku jatuh hati kepadanya. Dulu pada saat pertama bertemu aku mungkin
hanya menyukai parasnya saja, seiring berjalannya waktu aku mulai menyukai
sifatnya, menyukai perhatiannya, menyukai semua yang ada pada dirinya. Beberapa
minggu berlalu, aku selalu mencari waktu yang pas untuk menyatakan isi hatiku,
dan pada saat diri ini sudah mantap, ternyata dia dengan senangnya menceritakan
bahwa dirinya sudah menjadi kekasih orang lain. Jujur, pada saat itu aku tidak
merasa patah hati ataupun merasakan hal yang sakit. Aku hanya mencoba untuk
berpikiran baik terhadap situasi tersebut dan mencoba menyembunyikan perasaan
ku. Yang ada dalam benakku adalah jangan hanya karena cinta persahabatan
menjadi hilang begitu saja.
Dia selalu menceritakan semua kisah
cintanya kepada ku, ia sangat percaya kepadaku. Aku tak pernah menyangka bahwa
kisah ku dengan dia bisa sebegitu dekatnya. Kami berdua sering bertengkar hanya karena
masalah sepele saja, masalah rambut ku yang terkadang tak ku sisir atau pun
masalah dirinya yang terkadang tidak mandi jika ingin berpergian. Tapi dengan
masalah – masalah sepele yang sering datang, kami malah semakin dekat dan
mencoba menasihati satu sama lain.
Singkat cerita, sampailah ketika
pada saat Nadine kutemui sedang menangis tersedu – sedu dan langsung memelukku saat
aku menjemputnya.
“qiiiiiiii”
suara lembutnya keluar seraya memelukku.
“kamu
kenapa ? nangis kenapa ?” tanya ku sambil memeluknya juga.
Pertanyaan sederhana itu tidak
dijawab olehnya, ia hanya menangis bersandar di pundak ku. Aku mencoba
menenangkan dia dengan mengajaknya ke mobil dan memberinya minuman kesukaanya
yang sengaja ku beli.
“kamu
kenapa Nad ?” ucap ku dengan nada yang lembut agar ia semakin tenang.
Setelah beberapa kali aku bertanya,
akhirnya ia menjawab dengan nada yang sangat penuh dengan kebencian.
“aku
diputusin qi sama Aldo” ucapnya, Aldo adalah seorang mahasiswa Sistem Informasi
yang kebetulan sekelas dengan Nadine.
“kamu
diputusin ? yaudah gapapa nad, kan masih ada aku” kata ku yang berusaha
mencairkan suasana.
Setelah ku berkata demikian, ia
tersenyum seperti ingin tertawa lepas tetapi tertahan. Aku sebagai sahabatnya
mencoba untuk membuatnya cepat melupakan masalah tersebut, entah berapa kali
aku bertingkah konyol pada saat itu demi menghiburnya. Selama perjalanan aku
mencoba selalu mengajaknya ngobrol mengenai kuliahnya, dosen killernya, dan
mengenai dirinya yang terkadang suka melakukan hal yang konyol juga.
Sesampainya di rumah Nadine, aku langsung beranjak pulang, karena aku tahu ia
butuh waktu untuk menyendiri dan mengintropeksi dirinya.
Keesokannya aku mengajak ia pergi ke
puncak dengan motor sederhana ku, aku ingin ia segera melupakan apa yang
terjadi kemarin. Selama diperjalanan ia hanya terdiam sambil memeluk erat
tubuhku, pada saat itu separuh dari dirinya seperti menghilang ditelan
kesedihan. Entah mengapa ia seperti tidak bisa melupakannya, sering kali ia
terlihat menatap kosong pemandangan dan perlahan meneteskan air matanya.
Mungkin memang sesakit itu kah jika putus cinta ?. Rasa bingung berdatangan di
kepalaku, apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan keceriaannya. Berteman
selama kurang lebih 3 tahun, ternyata tidak membuat ku paham betul seperti apa
dirinya. Melihatnya yang terus menerus terdiam, aku berinisiatif untuk pulang
menuju rumah meskipun hanya sebentar kami berada di puncak. Sampai di rumah,
aku tidak langsung pulang. Aku mengajak ia mengobrol di teras rumahnya.
“Nad,
kamu kenapa ? masih kepikiran yang kemarin ?” ucap ku mengawali percakapan.
“iya
qi, dia cinta pertama aku. Kenapa ia memilih putus pada saat aku sedang sayang
– sayangnya” perkataannya sambil meneteskan air matanya kembali.
“ya
allah naadd, lupain aja yang memang harus dilupain, terus ingat apa yang harus
di ingat. Mungkin dia bukan yang terbaik buat kamu. Kamu itu cantik, pinter,
baik, dan ceria. Pasti bakalan banyak yang suka atau malah sayang sama kamu.
Lupain lah nad” aku mencoba untuk menasihatinya.
Setelah percakapan tadi, ia langsung
beranjak pergi dari hadapan ku dan menutup rapat – rapat pintu rumahnya. Pada
saat itu aku tidak mencoba untuk mengejarnya atau melarangnya masuk ke dalam
rumah, karena aku tau jika ia butuh waktu menyendiri dan merenung sejenak.
Beberapa hari tidak ada kabar darinya. Tepat satu minggu, ia datang ke rumah ku
dengan wajah yang sudah ceria. Candaan ringan darinya yang memperlihatkan
bahwa ia sudah melupakan masalahnya. Ia mengajak ku untuk mendatangi sebuah
pameran komputer yang digelar di daerah senayan. Aku menerima dengan semangat
ajakan nya itu, kami berangkat menggunakan mobil dan sepanjang jalan kami
bernyanyi seakan – akan kami menggelar sebuah konser di dalam mobil. Hari itu
aku sangat bahagia karena bisa melihat keceriaannya kembali setelah direngut
oleh kesedihan kemarin.
Banyak hal yang tidak bisa kami
lupakan, suka duka kami lewati sebagai seorang sahabat. Banyak yang mengira bahwa
kami adalah sepasang kekasih karena kedekatan kami. Memang aneh rasanya jika
tidak ada benih cinta yang timbul diantara kami, tapi itu mungkin yang terbaik
buat kami. Kami sudah merasa sangat nyaman sebagai seorang sahabat, bahkan
mereka yang pacaran pun terkadang suka iri karena bersahabatan kami
Beberapa waktu berlalu, sampailah
pada saat kami harus berpisah karena pekerjaan ayahnya yang dipindah tugaskan
menuju kota kembang Bandung. Jujur, berat bagiku untuk berpisah dengannya. Entah
karena aku takut dia melupakanku atau malah aku yang melupakannya. Dia adalah
teman terbaikku sampai saat ini, tidak ada yang menggantikannya ataupun yang
mengerti seluk beluk sifat ku selain dirinya.
Walaupun kami berada di kota yang
berbeda, kami beruntung karena kami masih berkomunikasi dengan baik melalui
layar ponsel, ia sering kembali ke kota ku karena disini masih ada rumah lamanya
yang belum juga terjual. Saat ia kembali, aku selalu menyempatkan diri untuk
bertemu dengannya walaupun aku harus beberapa kali bolos kuliah. Entah apa yang
ada di pikiran ku, aku hanya mementingkan seorang sahabat ku ketimbang absen
ku.
Itulah sedikit cerita dari perjalanan hidup
ku yang kuberi judul “Sebuah Kisah”.
0 komentar:
Posting Komentar