Kamis, 07 Juni 2018

Sebuah Kisah


Kisah ku berawal dari masa smp yang sangat berantakan, tawuran sana-sini, bolos sekolah hingga aku dihadapkan pada situasi yang sangat haru saat itu dan membuat ku ingin bertaubat. Ya, situasi itu adalah pada saat orang tuaku menangis dihadapan ku, guru dan kepala sekolah smp ku diruang kepala sekolah karena tingkah laku ku. Pada saat itu aku hanya seorang remaja yang masih mencari jati diri, namun apalah daya akhirnya aku terjerumus ke lubang yang sebenarnya sama sekali tidak ingin aku masuki.

Singkat cerita, pada saat smp kelas 3 aku bertemu seorang teman yang sangat baik, “pampam” panggilannya. Sebuah nama yang kubuat karena namanya yang panjang untuk sebatas nama panggilan, ia mengajak ku untuk menghadiri sebuah majelis di dekat rumahnya alasannya sederhana, ia ingin membantu ku untuk berubah. Akhirnya aku datang menghadirinya, aku mendengar ceramah seorang habib yang sekarang telah menjadi panutanku.

1 tahun berjalan, tiba saatnya ibuku menyuruhku untuk mengajak juga anak dari salah satu temannya untuk menghadiri sebuah tabligh akbar. Nama nya Nadine Kalea Azzahra, seorang perempuan yang mempunyai perjalanan hidup yang kurang beruntung juga sama sepertiku. Pada saat bertatap muka untuk pertama kalinya, aku melihat paras wajahnya yang sangat cantik seraya berkata dalam hatiku “Kamu beruntung, Allah sedang tersenyum pada saat menciptakan mu”. Setelah ia ku bonceng dengan motor sederhanaku, ia terlihat tidak begitu tertarik untuk menghadiri sebuah acara tabligh akbar. Itu terlihat dari matanya yang selalu tertuju pada layar ponsel nya, namun bukan bagian dari diriku jika aku tidak mampu untuk membuatnya tertarik. Aku melakukan suatu hal yang mungkin akan agak lebih aneh jika sedang bersama teman baru, yaitu mengambil ponselnya.

“eh kok kamu lancang banget sih ngambil hp aku” ujarnya sambil mencoba merebutnya kembali.
“coba kamu dengerin dulu ceramahnya, perhatikan isi ceramahnya. Kalo kamu masih bermain hp mending kita pulang aja” kataku pada saat ia mencoba merebut ponselnya.

Dari percakapan singkat tadi, aku yakin dia akan menyukai untuk menghadiri kembali acara tersebut.

            Setelah beberapa bulan tidak ada kabar darinya, tiba tiba ponsel ku berdering dan berisi pesan ajakan untuk menghadiri suatu acara keagamaan di dekat rumahnya. Sontak diriku kaget karena ajakannya tersebut. Dengan senang aku bersiap untuk menghadiri acara tersebut, minyak wangi yang dibelikan ibu dan sarung yang baru saja dibersihkan menempel pada tubuhku. Sampailah aku disana, bertemu dengannya dan lagi-lagi aku mengatakan kalimat yang sama seperti pada saat pertama kali melihatnya. Parasnya yang begitu rupawan dibalut dengan kerudung bergambar bunga kesukaannya membuat siapapun tidak berkedip melihatnya.

“Alhamdulillah qi kamu dateng juga” ucapnya yang terlihat gembira pada saat aku datang.
“aku pasti dateng dong, kan ini acaranya temen aku” membalas perkataanya

            Setelah percakapan pendek tersebut aku diajaknya untuk menempati tempat paling depan, pada saat itu aku merasa bahagia sekali, karena secara tidak langsung aku telah mengubah sifatnya untuk menjadi lebih baik.

            Dan persahabatan kita berdua berawal dari situ. Kami mulai banyak menghadiri acara keagamaan bersama-sama sejak itu, dari yang berlokasi dekat dengan rumah kami dan juga jauh dari rumah kami. Tapi semua perjalanan itu ku anggap dekat karena keberadaanya yang dapat membuat suasana menjadi ceria.

Singkat cerita, setelah ia lulus sma dan aku telah lulus smk, lagi – lagi kita tidak bisa satu kampus karena keterbatasan perekonomian keluarganya. Aku kuliah di Universitas Gunadarma dan dia kuliah di Universitas Bina Insani. Meskipun tidak jauh, tapi terasa sekali jika waktu bertemu kami semakin berkurang, kesibukan tugas kuliah dan kerja kelompok harus memaksa kami lebih sering berkomunikasi melalui ponsel. Kami berdua saling bantu membantu mengenai tugas kuliah, pada saat aku lelah dengan kepadatan jadwal kuliah ku, ia yang selalu mengerti keadaanku langsung menawarkan bantuan, dan begitu pun sebaliknya.

            2 tahun bersama-sama, sampailah pada saat diriku jatuh hati kepadanya. Dulu pada saat pertama bertemu aku mungkin hanya menyukai parasnya saja, seiring berjalannya waktu aku mulai menyukai sifatnya, menyukai perhatiannya, menyukai semua yang ada pada dirinya. Beberapa minggu berlalu, aku selalu mencari waktu yang pas untuk menyatakan isi hatiku, dan pada saat diri ini sudah mantap, ternyata dia dengan senangnya menceritakan bahwa dirinya sudah menjadi kekasih orang lain. Jujur, pada saat itu aku tidak merasa patah hati ataupun merasakan hal yang sakit. Aku hanya mencoba untuk berpikiran baik terhadap situasi tersebut dan mencoba menyembunyikan perasaan ku. Yang ada dalam benakku adalah jangan hanya karena cinta persahabatan menjadi hilang begitu saja.

            Dia selalu menceritakan semua kisah cintanya kepada ku, ia sangat percaya kepadaku. Aku tak pernah menyangka bahwa kisah ku dengan dia bisa sebegitu dekatnya. Kami berdua sering bertengkar hanya karena masalah sepele saja, masalah rambut ku yang terkadang tak ku sisir atau pun masalah dirinya yang terkadang tidak mandi jika ingin berpergian. Tapi dengan masalah – masalah sepele yang sering datang, kami malah semakin dekat dan mencoba menasihati satu sama lain.

            Singkat cerita, sampailah ketika pada saat Nadine kutemui sedang menangis tersedu – sedu dan langsung memelukku saat aku menjemputnya.
           
“qiiiiiiii” suara lembutnya keluar seraya memelukku.
“kamu kenapa ? nangis kenapa ?” tanya ku sambil memeluknya juga.

            Pertanyaan sederhana itu tidak dijawab olehnya, ia hanya menangis bersandar di pundak ku. Aku mencoba menenangkan dia dengan mengajaknya ke mobil dan memberinya minuman kesukaanya yang sengaja ku beli.

“kamu kenapa Nad ?” ucap ku dengan nada yang lembut agar ia semakin tenang.

            Setelah beberapa kali aku bertanya, akhirnya ia menjawab dengan nada yang sangat penuh dengan kebencian.

“aku diputusin qi sama Aldo” ucapnya, Aldo adalah seorang mahasiswa Sistem Informasi yang kebetulan sekelas dengan Nadine.
“kamu diputusin ? yaudah gapapa nad, kan masih ada aku” kata ku yang berusaha mencairkan suasana.

            Setelah ku berkata demikian, ia tersenyum seperti ingin tertawa lepas tetapi tertahan. Aku sebagai sahabatnya mencoba untuk membuatnya cepat melupakan masalah tersebut, entah berapa kali aku bertingkah konyol pada saat itu demi menghiburnya. Selama perjalanan aku mencoba selalu mengajaknya ngobrol mengenai kuliahnya, dosen killernya, dan mengenai dirinya yang terkadang suka melakukan hal yang konyol juga. Sesampainya di rumah Nadine, aku langsung beranjak pulang, karena aku tahu ia butuh waktu untuk menyendiri dan mengintropeksi dirinya.

            Keesokannya aku mengajak ia pergi ke puncak dengan motor sederhana ku, aku ingin ia segera melupakan apa yang terjadi kemarin. Selama diperjalanan ia hanya terdiam sambil memeluk erat tubuhku, pada saat itu separuh dari dirinya seperti menghilang ditelan kesedihan. Entah mengapa ia seperti tidak bisa melupakannya, sering kali ia terlihat menatap kosong pemandangan dan perlahan meneteskan air matanya. Mungkin memang sesakit itu kah jika putus cinta ?. Rasa bingung berdatangan di kepalaku, apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan keceriaannya. Berteman selama kurang lebih 3 tahun, ternyata tidak membuat ku paham betul seperti apa dirinya. Melihatnya yang terus menerus terdiam, aku berinisiatif untuk pulang menuju rumah meskipun hanya sebentar kami berada di puncak. Sampai di rumah, aku tidak langsung pulang. Aku mengajak ia mengobrol di teras rumahnya.

“Nad, kamu kenapa ? masih kepikiran yang kemarin ?” ucap ku mengawali percakapan.
“iya qi, dia cinta pertama aku. Kenapa ia memilih putus pada saat aku sedang sayang – sayangnya” perkataannya sambil meneteskan air matanya kembali.
“ya allah naadd, lupain aja yang memang harus dilupain, terus ingat apa yang harus di ingat. Mungkin dia bukan yang terbaik buat kamu. Kamu itu cantik, pinter, baik, dan ceria. Pasti bakalan banyak yang suka atau malah sayang sama kamu. Lupain lah nad” aku mencoba untuk menasihatinya.

            Setelah percakapan tadi, ia langsung beranjak pergi dari hadapan ku dan menutup rapat – rapat pintu rumahnya. Pada saat itu aku tidak mencoba untuk mengejarnya atau melarangnya masuk ke dalam rumah, karena aku tau jika ia butuh waktu menyendiri dan merenung sejenak. Beberapa hari tidak ada kabar darinya. Tepat satu minggu, ia datang ke rumah ku dengan wajah yang sudah ceria. Candaan ringan darinya yang memperlihatkan bahwa ia sudah melupakan masalahnya. Ia mengajak ku untuk mendatangi sebuah pameran komputer yang digelar di daerah senayan. Aku menerima dengan semangat ajakan nya itu, kami berangkat menggunakan mobil dan sepanjang jalan kami bernyanyi seakan – akan kami menggelar sebuah konser di dalam mobil. Hari itu aku sangat bahagia karena bisa melihat keceriaannya kembali setelah direngut oleh kesedihan kemarin.

            Banyak hal yang tidak bisa kami lupakan, suka duka kami lewati sebagai seorang sahabat. Banyak yang mengira bahwa kami adalah sepasang kekasih karena kedekatan kami. Memang aneh rasanya jika tidak ada benih cinta yang timbul diantara kami, tapi itu mungkin yang terbaik buat kami. Kami sudah merasa sangat nyaman sebagai seorang sahabat, bahkan mereka yang pacaran pun terkadang suka iri karena bersahabatan kami

            Beberapa waktu berlalu, sampailah pada saat kami harus berpisah karena pekerjaan ayahnya yang dipindah tugaskan menuju kota kembang Bandung. Jujur, berat bagiku untuk berpisah dengannya. Entah karena aku takut dia melupakanku atau malah aku yang melupakannya. Dia adalah teman terbaikku sampai saat ini, tidak ada yang menggantikannya ataupun yang mengerti seluk beluk sifat ku selain dirinya.

            Walaupun kami berada di kota yang berbeda, kami beruntung karena kami masih berkomunikasi dengan baik melalui layar ponsel, ia sering kembali ke kota ku karena disini masih ada rumah lamanya yang belum juga terjual. Saat ia kembali, aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengannya walaupun aku harus beberapa kali bolos kuliah. Entah apa yang ada di pikiran ku, aku hanya mementingkan seorang sahabat ku ketimbang absen ku.


Itulah sedikit cerita dari perjalanan hidup ku yang kuberi judul “Sebuah Kisah”.
             



0 komentar:

Posting Komentar